Kyai Sendang
sambungan dari bagian 1

B.    Permasalahan

  1. Dari mana hukum Islam digali ( apakah sumber-sumber hukum Islam) ?
  2. Bagaimana membangun/ mewujudkan Hukum Nasional Progresif ? 
  3. Dapatkah hukum Islam menjadi alternatif dalam membangun Hukum Nasional Progresif  ?
C.    Pembahasan Masalah

Progresif, adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress, yang artinya maju. Progressive adalah  kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju. Hukum Progresif berarti hukum yang  bersifat maju.  Dalam teori ilmu hukum, istilah Hukum Progresif tidak dikenal. Belakangan ini seorang pakar ilmu hukum terkemuka, yakni Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu beliau melontarkan suatu    pemecahan masalah, dengan   gagasan  tentang Hukum Progresif.
Adapun pengertian Hukum Progresif itu sendiri yaitu mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa : “ Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya…dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu…untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia” (1)
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,  tersebut berarti, Hukum Progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
 
Berangkat dari gagasan ini, penulis mencoba menyampaikan sumbangan pemikiran untuk menuju pada Hukum progresif, dengan menggalinya dari sumber-sumber hukum yang telah ada dan terbukti telah dipergunakan selama berabad-abad oleh masyarakat kita, akan tetapi belum pernah digali dan dikembangkan secara optimal, dalam rangka membangun hukum nasional yang progresif. Sumber-sumber hukum tersebut adalah yang berasal dari hukum Islam.

 Sebagaimana telah diuraikan di atas, hukum Islam memiliki sumber-sumber hukum yang progresif serta sangat memadahi. Selain hal itu, Hukum Islam telah teruji mampu menjawab  setiap persoalan yang timbul dalam pergaulan masyarakat.
Sebagaimana telah diketahui, Hukum Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad, SAW.
Pada saat itu, permasalahan-permasalahan yang ada masih sangat
sederhana apabila dibandingkan dengan saat ini. Selain dari kesederhanaan masyarakatnya, pada waktu itu Islam masih dipimpin langsung oleh pembawanya (Nabi Muhammad, SAW) sehingga setiap persoalan dapat ditanyakan langsung serta mendapat pemecahannya dari beliau. Permasalahan baru berkembang setelah nabi Muhammad dan umat Islam hijrah ke Yatsrib (Madinah), karena di daerah yang baru ini nabi Muhammad dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang majemuk, dimana ada yang memeluk agama Nasrani, Yahudi disamping masyarakat Islam sendiri. Untuk hal tersebut upaya awal yang dilakukan Nabi Muhammad sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. H. Muchsin, SH dalam bukunya yang berjudul Piagam Madinah, Filsafat Timur, Filosof Islam dan pemikirannya, adalah membuat perjanjian, dengan masyarakat Yatsrib yang majemuk itu. Perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad tersebut, belakangan kita kenal sebagai Piagam Madinah, yaitu sebuah Piagam yang secara historis telah diakui sebagai konstitusi tertua di Dunia. Konstitusi adalah hukum dasar bagi masyarakat yang berbangsa dan bernegara, oleh karena itu dapatlah diperhatikan betapa progresifnya Piagam Madinah tersebut yang sebagian menyatakan sebagai berikut :
………………………
4.     Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (pasal 16). Bahwa orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (pasal 11).

5.     Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (pasal 24, 36, 37, 38, 44).

6.     Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang .samadi hadapan hukum (Pasal 34, 40, 46).
……………………….

8.     Hukum harus ditegakkan, siapapun tidak boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan, siapapun pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22, dan 43).

9.     Perdamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran. (2)

Kutipan beberapa pasal dari Piagam Madinah tersebut cukup menjelaskan bahwa Hukum Islam dapat diterapkan pada masyarakat yang tidak hanya terdiri dari umat Islam saja, melainkan juga terhadap masyarakat pemeluk agama lain, sebagaimana masyarakat Yatsrib yang di dalamnya terdapat masyarakat pemeluk agama Nasrani dan juga  pemeluk agama Yahudi, yang keseluruhan masyarakat tersebut memiliki berkedudukan sama di hadapan hukum.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia, cukup banyak yang mengadopsi dari Hukum Islam dan itu ternyata telah berlaku sekian lama tanpa masalah. Ini membuktikan bahwa selain hal-hal  yang berkaitan dengan syariat yang menyangkut ritual peribadatan, Hukum Islam bersifat universal dan dapat diterima oleh kalangan non Islam.  Peraturan tersebut antara lain adalah apa yang termuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan  yang mengatur tentang, poligami, waktu tunggu bagi janda, alasan-alasan untuk mengajukan perceraian dan lain-lain.

Adapun mengenai hal-hal baru yang belum ada aturannya, hukum Islam dapat menetapkannya sesuai dengan tujuan hukum Islam itu sendiri, sebagaimana diuraikan oleh  H. Akhmad Khisni, SH, MH, adalah :

“Mengkaji tujuan hukum (maqoshid al-syari’ah) yang menurut ulama ahli hukum, bahwa tujuan hukum islam adalah “jalbu al-mashalih” (mendatangkan kebaikan). Adapun pendapat ulama ahli hukum islam yang lain, bahwa tujuan hukum islam adalah “dar’ul mafasid” (menolak kerusakan /hal yang negatif) dan pendapat ahli hukum yang ketiga ini menggabungkan dua pendapat di atas…”  (3) 
  
Sesuai dengan tujuan hukum Islam yakni mendatangkan kebaikan dan menolak/mencegah yang negatif, maka sesungguhnya kedua hal tersebut  merupakan prinsip dasar yang bersifat universal, dan sudah barang tentu dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja. Hal ini karena hal tersebut mewakili hati nurani manusia, sebagai makhluk ciptahan Tuhan yang paling sempurna. Hati nurani inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan/makhluk hidup lainnya, yang hanya dibekali naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas hukum Islam memiliki sumber hukum, yaitu kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber utama, kemudian Sunnah Rosul, Ijma, dan Qias. Mengenai sumber-sumber hukum yang lainnya, para ahli Hukum Islam (baca: Fuqoha) berbeda pendapat antara satu dengan lainnya.

Imam Syafi’I , yang mazhabnya banyak dianut di Indonesia, menolak Istihsan. Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan :
“Sesungguhnya Asy-Syafi’I tidak menerangkan dengan tegas apa yang ditolaknya. Ia hanya menerangkan dalil-dalil yang dipegangnya, yaitu: al-Kitab, al-Sunnah, al-Ijma’, al-Qias dan fatwa sahabat. Selainnya dipandang istihsan yang harus ditolak.” (4)

Di sini Imam Syafi’i, mengutamakan empat sumber tersebut, sedangkan sunber-sumber lainnya yang tidak bersangkutan dengan keempat sumber tersebut dianggap Istihsan dan itu ditolak oleh beliau.
Menggali hukum dengan mempergunakan keempat sumber tersebut dengan memperhatikan maqoshid al-syariah, sudah sangat  memadai untuk mendapatkan  solusi terhadap persoalan hukum yang dibutuhkan masyarakat.

bersambung ke bagian 3
0 Responses

Posting Komentar